UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
19 TAHUN 2002
TENTANG
HAK
CIPTA
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut;
b. bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya;
c. bahwa perkembangan di bidang perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas;
d. bahwa dengan memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang Hak Cipta yang ada, dipandang perlu untuk menetapkan Undang-undang Hak Cipta yang baru menggantikan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan seb agaimana tersebut dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, dibutuhkan Undang-undang tentang Hak Cipta.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 28 C ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564).
Dengan
Persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG HAK CIPTA.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
7. Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
8. Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun gkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
10. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
11. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perek aman suara atau perekaman bunyi lainnya.
12. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik.
13. Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada Direktorat Jenderal.
14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
15. Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang ini.
16. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Pengumuman adalah pem bacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
7. Potret adalah gambar dari wajah orang yang digambarkan, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
8. Program Komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabun gkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
9. Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya.
10. Pelaku adalah aktor, penyanyi, pemusik, penari, atau mereka yang menampilkan, memperagakan, mempertunjukkan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, atau memainkan suatu karya musik, drama, tari, sastra, folklor, atau karya seni lainnya.
11. Produser Rekaman Suara adalah orang atau badan hukum yang pertama kali merekam dan memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan perekaman suara atau perekaman bunyi, baik perekaman dari suatu pertunjukan maupun perek aman suara atau perekaman bunyi lainnya.
12. Lembaga Penyiaran adalah organisasi penyelenggara siaran yang berbentuk badan hukum, yang melakukan penyiaran atas suatu karya siaran dengan menggunakan transmisi dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektromagnetik.
13. Permohonan adalah Permohonan pendaftaran Ciptaan yang diajukan oleh pemohon kepada Direktorat Jenderal.
14. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
15. Kuasa adalah konsultan Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang ini.
16. Menteri adalah Menteri yang membawahkan departemen yang salah satu lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang Hak Kekayaan Intelektual, termasuk Hak Cipta.
17. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
BAB II
LINGKUP
HAK CIPTA
Bagian
Pertama
Fungsi dan
Sifat Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembata san
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
(2) Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Pasal 3
(1) Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak.
(2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Hak Cipta yang dimiliki oleh Pencipta, yang setelah
Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima
wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu
diperoleh secara melawan hukum.
(2) Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
(2) Hak Cipta yang tidak atau belum diumumkan yang setelah Penciptanya meninggal dunia, menjadi milik ahli warisnya atau milik penerima wasiat, dan Hak Cipta tersebut tidak dapat disita, kecuali jika hak itu diperoleh secara melawan hukum.
Bagian
Kedua
Pencipta
Pasal 5
(1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai
Pencipta adalah:
a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau
b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
(2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.
a. orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal; atau
b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan.
(2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Pasal 6
Jika suatu Ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri
yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai Pencipta ialah
orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh Ciptaan itu, atau
dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang
yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian
Ciptaannya itu.
Pasal 7
Jika suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan
dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang
merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.
Pasal 8
(1) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan
pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang
untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain
antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan
Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas.
(3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.
Pasal 9
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal
dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum
tersebut dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya.
Bagian
Ketiga
Hak Cipta
atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui
Pasal 10
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan
prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan
Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
(2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(2) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
(3) Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
Bagian
Keempat
Ciptaan
yang Dilindungi
Pasal 12
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah
Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Pasal 13
Tidak ada Hak Cipta atas:
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Bagian
Kelima
Pembatasan
Hak Cipta
Pasal 14
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
a. Pengumuman dan/atau Perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
b. Pengumuman dan/atau Perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
c. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pasal 15
Dengan syarat bahwa sumbernya harus
disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta
kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta
dapat:
a. mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b. mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
a. mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;
b. mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
(2) Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
(3) Kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Penerjemahan atau Perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) huruf b dan huruf c disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Ketentuan tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 17
Pemerintah melarang Pengumuman
setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang
agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta ketertiban umum
setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Pasal 18
(1) Pengumuman suatu Ciptaan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah untuk kepentingan nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain
dapat dilakukan dengan tidak meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan
kepada Pemegang Hak Cipta diberikan imbalan yang layak.
(2) Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
(2) Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan.
Bagian
Keenam
Hak Cipta
atas Potret
Pasal 19
(1) Untuk memperbanyak atau mengumumkan Ciptaannya, Pemegang
Hak Cipta atas Potret seseorang harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari
orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
(2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
(3) Ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c. untuk kepentingan orang yang dipotret.
(2) Jika suatu Potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk Perbanyakan atau Pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila Pengumuman atau Perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam potret itu, Pemegang Hak Cipta harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari setiap orang dalam Potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia.
(3) Ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku terhadap Potret yang dibuat:
a. atas permintaan sendiri dari orang yang dipotret;
b. atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret; atau
c. untuk kepentingan orang yang dipotret.
Pasal 20
Pemegang Hak Cipta atas Potret tidak boleh mengumumkan
potret yang dibuat:
a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
c. tidak untuk kepentingan yang dipotret, apabila Pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal dunia.
a. tanpa persetujuan dari orang yang dipotret;
b. tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret; atau
c. tidak untuk kepentingan yang dipotret, apabila Pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret, atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal dunia.
Pasal 21
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan
untuk diumumkan atas seorang Pelaku atau lebih dalam suatu pertunjukan umum
walaupun yang bersifat komersial, kecuali dinyatakan lain oleh orang yang
berkepentingan.
Pasal 22
Untuk kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan
proses peradilan pidana, Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat
diperbanyak dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 23
Kecuali terdapat persetujuan lain antara Pemegang Hak Cipta
dan pemilik Ciptaan fotografi, seni lukis, gambar, arsitektur, seni pahat
dan/atau hasil seni lain, pemilik berhak tanpa persetujuan Pemegang Hak Cipta
untuk mempertunjukkan Ciptaan di dalam suatu pameran untuk umum atau
memperbanyaknya dalam satu katalog tanpa mengurangi ketentuan Pasal 19 dan
Pasal 20 apabila hasil karya seni tersebut berupa Potret.
Bagian
Ketujuh
Hak Moral
Pasal 24
(1) Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak
Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.
(2) Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta.
(4) Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
(2) Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta.
(4) Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
Pasal 25
(1) Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak
Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Hak Cipta atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan
Pencipta selama kepada pembeli Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta
dari Pencipta itu.
(2) Hak Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.
(3) Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.
Bagian Kedelapan
Sarana Kontrol Teknologi
(2) Hak Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua kalinya oleh penjual yang sama.
(3) Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.
Bagian Kedelapan
Sarana Kontrol Teknologi
Pasal 27
Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi sebagai
pengaman hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau dibuat
tidak berfungsi.
Pasal 28
(1) Ciptaan-ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi
tinggi, khususnya di bidang cakram optik (optical disc), wajib memenuhi semua
peraturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang
berwenang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi yang memproduksi cakram optik sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana produksi berteknologi tinggi yang memproduksi cakram optik sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
III
MASA
BERLAKU HAK CIPTA
Pasal 29
(1) Hak Cipta atas Ciptaan:
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;
h. alat peraga;
i. peta;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
(2) Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;
h. alat peraga;
i. peta;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
(2) Untuk Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, Hak Cipta berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
Pasal 30
(1) Hak Cipta atas Ciptaan:
a. Program Komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
(2) Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.
(3) Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini serta Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
a. Program Komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
(2) Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.
(3) Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini serta Pasal 29 ayat (1) yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Pasal 31
(1) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan
oleh Negara berdasarkan:
a. Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali diketahui umum.
(2) Hak Cipta atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan Pasal 11 ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali diterbitkan.
a. Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali diketahui umum.
(2) Hak Cipta atas Ciptaan yang dilaksanakan oleh penerbit berdasarkan Pasal 11 ayat (2) berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali diterbitkan.
Pasal 32
(1) Jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang
diumumkan bagian demi bagian dihitung mulai tanggal Pengumuman bagian yang
terakhir.
(2) Dalam menentukan jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang terdiri atas 2 (dua) jilid atau lebih, demikian pula ikhtisar dan berita yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, setiap jilid atau ikhtisar dan berita itu masing-masing dianggap sebagai Ciptaan tersendiri.
(2) Dalam menentukan jangka waktu berlakunya Hak Cipta atas Ciptaan yang terdiri atas 2 (dua) jilid atau lebih, demikian pula ikhtisar dan berita yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, setiap jilid atau ikhtisar dan berita itu masing-masing dianggap sebagai Ciptaan tersendiri.
Pasal 33
Jangka waktu perlindungan bagi hak Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam:
a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Penciptanya.
a. Pasal 24 ayat (1) berlaku tanpa batas waktu;
b. Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) berlaku selama berlangsungnya jangka waktu Hak Cipta atas Ciptaan yang bersangkutan, kecuali untuk pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Penciptanya.
Pasal 34
Tanpa mengurangi hak Pencipta atas jangka waktu perlindungan
Hak Cipta yang dihitung sejak lahirnya suatu Ciptaan, penghitungan jangka waktu
perlindungan bagi Ciptaan yang dilindungi:
a. selama 50 (lima puluh) tahun;
b. selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah Pencipta meninggal dunia.
a. selama 50 (lima puluh) tahun;
b. selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah Ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah Pencipta meninggal dunia.
BAB
IV
PENDAFTARAN
CIPTAAN
Pasal 35
(1) Direktorat Jenderal
menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
(2) Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap
orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftar an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petikan dari Daftar Umum Ciptaan tersebut dengan dikenai biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftar an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan Hak Cipta.
Pasal 36
Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak
mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari
Ciptaan yang didaftar.
Pasal 37
(1) Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan
atas Permohonan yang diajukan oleh Pencipta atau oleh Pemegang Hak Cipta atau
Kuasa.
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh Ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya.
(3) Terhadap Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Permohonan secara lengkap.
(4) Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal.
(5) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang syarat dan tata cara Permohonan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 38
Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau
suatu badan hukum yang secara bersama-sama berhak atas suatu Ciptaan, Permohonan
tersebut dilampiri salinan resmi akta atau keterangan tertulis yang membuktikan
hak tersebut.
Pasal 39
Dalam Daftar Umum Ciptaan dimuat, antara lain:
a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor pendaftaran Ciptaan.
a. nama Pencipta dan Pemegang Hak Cipta;
b. tanggal penerimaan surat Permohonan;
c. tanggal lengkapnya persyaratan menurut Pasal 37; dan
d. nomor pendaftaran Ciptaan.
Pasal 40
(1) Pendaftaran Ciptaan dianggap telah dilakukan pada saat
diterimanya Permohonan oleh Direktorat Jenderal dengan lengkap menurut Pasal
37, atau pada saat diterimanya Permohonan dengan lengkap menurut Pasal 37 dan
Pasal 38 jika Permohonan diajukan oleh lebih dari seorang atau satu badan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 41
(1) Pemindahan hak atas pendaftaran Ciptaan, yang terdaftar
menurut Pasal 39 yang terdaftar dalam satu nomor, hanya diperkenankan jika
seluruh Ciptaan yang terdaftar itu dipindahkan haknya kepada penerima hak.
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
(2) Pemindahan hak tersebut dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permohonan tertulis dari kedua belah pihak atau dari penerima hak dengan dikenai biaya.
(3) Pencatatan pemindahan hak tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 42
Dalam hal Ciptaan didaftar menurut Pasal 37 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 39, pihak lain yang menurut Pasal 2 berhak atas Hak Cipta
dapat mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Niaga.
Pasal 43
(1) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat orang atau
badan hukum yang namanya tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta, dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan atas permintaan
tertulis Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang mempunyai nama dan alamat itu
dengan dikenai biaya.
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
(2) Perubahan nama dan/atau perubahan alamat tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Ciptaan oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 44
Kekuatan hukum dari suatu pendaftaran Ciptaan hapus karena:
a. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
a. penghapusan atas permohonan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
b. lampau waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 dengan mengingat Pasal 32;
c. dinyatakan batal oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila da Undang-Undang Dasar 1945;
b bahwa penyelenggara telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuaan bangsa,memperlancar kegiatan pemerintahan,mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,serta meningkatkan hubungan antar bangsa;
c bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang tehadap telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yan berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut,perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggara telekomunikasi nasional;
e bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas,maka Undang-undang No.3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi,sehingga perlu diganti;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1),Pasal20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB II
ASAS DAN
TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,adil dan merata,kepastian hukum,keamanan,kemitraan,etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan,serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4
(1) Telekomunikasi dikuasai oleh
Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,pengaturan,pengesaan dan pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan,pengaturan,pengawasan dan pengendalian dibidang telekomunkasi,sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,pengaturan,pengesaan dan pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan,pengaturan,pengawasan dan pengendalian dibidang telekomunkasi,sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
(1) Dalam rangka pengembangan dan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berupa menyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah perkembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan,pengaturan,pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
(3) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
(4) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang telekomunikasi,asosiasi profesi telekomunikasi,asosiasi produsen peralatan telekomunikasi,asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
(5) Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga sebagaiman dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian
Pertama
Umum
Pasal 7
(1) Penyelenggara telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggara jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggara jasa telekomunikasi;
c. penyelenggara telekomunikasi khusus
(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi,diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan Negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tututan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.
Bagian
Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b,dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan usaha swasta; atau
d. Koperasi
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c,dapat dilakukan oleh :
a. Perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
(3) Ketentuan mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud daalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelengggarakan jasa telekomunikasi.
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal8 ayat (2) dapat menyelenggaarakan telekomunikasi untuk:
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran;
(4) Penyelenggara telekomunikaasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,terdiri dari penyelenggara telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah;
c. dinas khusus;
d. badan hukum.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Larangan
Praktik Monopoli
Pasal 10
(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
(1)
Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat
diselenggarakan setelah mendapat iziz dari Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil,dan tidak diskriminatif;serta
c. penyelesaian dalam waktu yaang singkat.
(3) Ketentuan meengeeenai perizinan penyelenggara telekmunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak and Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil,dan tidak diskriminatif;serta
c. penyelesaian dalam waktu yaang singkat.
(3) Ketentuan meengeeenai perizinan penyelenggara telekmunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak and Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
(1)
Dalam rangka pembangunan,pengoperasian,daan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi,penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi
tanah negara da atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau banguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku pula terhadap sungai,danau,atau laut,baik permukaan maupun dasar.
(3) Pembangunan,pengoperasian dan atau pemelihaaran jaringan telekomunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1),dilaksanakan setelaah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau banguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1),berlaku pula terhadap sungai,danau,atau laut,baik permukaan maupun dasar.
(3) Pembangunan,pengoperasian dan atau pemelihaaran jaringan telekomunikasi sebagaiman dimaksud pada ayat (1),dilaksanakan setelaah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan,pengoperasian atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan diantara para
pihak.
Pasal 14
Setiap peengguna telekomunikasi
mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
(1)
Atas kesalahan dan atau kelallaian penyelenggara telekomunikasi yang
menimbulkan kerugian,maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
(2) Penyelengga telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),kecuali penyelenggara telekomunikassi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalaahan dan atau kelalainya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara peengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Penyelengga telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),kecuali penyelenggara telekomunikassi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalaahan dan atau kelalainya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara peengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1)
Setiap penyelenggara jaringa telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaiman dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaiman dimaksud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.
(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan
pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. meningkatkan efisiensi daalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar penyediaan sarana dan prasarana.
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b. meningkatkan efisiensi daalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c. pemenuhan standar penyediaan sarana dan prasarana.
Pasal 18
(1)
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci
pemakaian jasa telekomunikassi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi
(2) Apabila pengguana memerlukan catataan/rekaman pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Apabila pengguana memerlukan catataan/rekaman pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
(3) Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakai jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan prioritas untuk pengiriman,penyaluran ,dan penyampaian
informasi penting yang menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya dan atau
e. wabah penyakit.
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi
dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum,kesusilaan,keamanan,atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan tanpa hak,tidak sah atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Bagian
Keenam
Penomoran
Pasal 23
(1)
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan dan jasa
telekomunikasi ditetapkan dan digunakan penomoran
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi diberikan berdasarkan penomoran sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 23.
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan biaya Hak Penyelenggaraan
Bagian Ketujuh
Interkoneksi dan biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
(1)
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan
interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)di lakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perngkat telekomunkasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi,hakdan kewajiban sebagaimana dimaksud pada aya (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah
(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)di lakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perngkat telekomunkasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi,hakdan kewajiban sebagaimana dimaksud pada aya (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 26
(1)
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggara telekomunikasi yang
diambil dari persentase pendapatan.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan tarif penyelenggara jasa telekomunikasi di atur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besarnya tarif penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan
berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
(1)
penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) huruf a dan huruf b,dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara
telekomunikasi lainnya.
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) huruf c dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
(2) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) huruf c dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran.
Pasal 30
(1)
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses didaerah tertentu,maka
penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b
setelah mendapat izin Menteri.
(2) Dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),maka penyelengara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapat izin sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),maka penyelengara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
(3) Syarat-syarat untuk mendapat izin sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1)
Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan
keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau
tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud
dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan
atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Perangkat
Telekomunikasi
Spektrum,Frekuensi
Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
(1)
Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan ,dibuat ,dirakit,
dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib
memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denga Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denga Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1)
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapat
izin Pemerintah.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan da pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
(3) Pemerintah melakukan pengawasan da pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1)
Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan
frekuensi,yang besarnya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita
frekuensi.
(2) Penggunaan orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Penggunaan orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1)
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari
dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan diwilayah perairan
Indonesia,tidak diwajibkan memenuhi kewajiban persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia diluar peruntukannya ,kecuali :
a. untuk kepentingan negara,Keamanan negara Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang disambungkan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia diluar peruntukannya ,kecuali :
a. untuk kepentingan negara,Keamanan negara Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang disambungkan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1)
Perangkat telekmunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing
dari dan kewilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia diluar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan negara,Keamanan negara Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan keselamatan lalu lintas penerbangan ; atau
b. disambungkan kejaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia diluar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan negara,Keamanan negara Keselamatan jiwa manusia dan harta benda,bencana alam,Keadaan marabahaya,wabah,navigasi,dan keselamatan lalu lintas penerbangan ; atau
b. disambungkan kejaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi, atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.
(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat
telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan
diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 39
(1)
Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan
terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk
penyelenggaraan telekomunikasi.
(2) Ketentuan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui telekomunikasi dalam
bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran
pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa
telekomunikasi,penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman
pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1)
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang
dikirim atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan
telekomunikasi yang diselenggarakan.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana,penyelenggara telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perekaman dan permintaan rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana,penyelenggara telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perekaman dan permintaan rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan
pidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 42 ayat(2) tidak merupakan pelanggaran Pasal
40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
(1)
Selain penyidik Pejabat Polisi Republik Indonesia,juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu dilingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya dibidang telekomunikasi,diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaita dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f. menggeledah tempat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaita dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
i. mengadakan penghentian penyidikan.
(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VI
SANKSI
ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan
Pasal 16 ayat (1),Pasal 18 ayat (2),pasal19,pasal 21,Pasal 25 ayat (2),Pasal 26
ayat (1),Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2),Pasal 33 ayat (1),Pasal 33 ayat
(2),Pasal 34 ayat (1),Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1)
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),dipidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara komunikasi khusus yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1 ataau Pasal 29
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan,membuat,merakit,memasukan atau
menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang
tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4
(empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat (2),dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38,dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1),dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi
yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47,Pasal
48,Pasal 52,atau Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuataan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47,Pasal 48,Pasal 49,Pasal 50,Pasal 51,Pasal 52,Pasal 53,Pasal
54,Pasal 55,Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
RUU tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) peraturan lain yg terkait (peraturan bank indonesia ttg internet banking )
A. Pendahuluan
Saat ini pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan dimana hampir seluruh proses penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan secara elektronik (paperless).
Perkembangan teknologi informasi tersebut telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui internet banking merupakan salah satu bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi.
Internet banking bukan merupakan istilah yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya perbankan nasional yang menyelenggarakan layanan tersebut.
Penyelenggaraan internet banking yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, dalam kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan tetapi di sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini, keamanan menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan oleh pihak bank.
Salah satu risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak nasabah.
Oleh karena itu perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui standarisasi pembuatan aplikasi internet banking, adanya panduan bila terjadi fraud dalam internet banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.
B. Peranan Bank Indonesia dalam Pencegahan Internet Fraud
Salah satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung.
Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pelaksanaan kewenangan tugas-tugas tersebut di atas ditetapkan secara lebih rinci dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Terkait dengan tugas Bank Indonesia mengatur dan mengawasi bank, salah satu upaya untuk meminimalisasi internet fraud yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui pendekatan aspek regulasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan serangkaian Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang harus dipatuhi oleh dunia perbankan antara lain mengenai penerapan manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking dan penerapan prinsip Know Your Customer (KYC).
1. Manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan internet banking
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking). Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara efektif.
b. Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut.
c. Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking adalah:
2. Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank, yang meliputi:
a) Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas internet banking, termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk mengelola risiko tersebut.
b) Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
3. Pengendalian pengamanan (security control)
a) Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang melakukan transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah (non repudiation) dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi internet banking.
c) Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem internet banking, database dan aplikasi lainnya.
d) Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap otorisasi dan hak akses (privileges) yang tepat terhadap sistem internet banking, database dan aplikasi lainnya.
e) Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi internet banking.
f) Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran (audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi internet banking.
g) Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi kerahasiaan informasi penting pada internet banking. Langkah tersebut harus sesuai dengan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam database.
4. Manajemen Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
a) Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet banking.
c) Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan jasa internet banking.
d) Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang dapat menghambat penyediaan sistem dan jasa internet banking.
e) Dalam hal sistem penyelenggaraan internet banking dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan prosedur pengawasan dan due dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga tersebut.
5. Penerapan prinsip Know Your Customer (KYC)
Upaya lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir terjadinya tindak kejahatan internet fraud adalah pengaturan kewajiban bagi bank untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your Customer (KYC). Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
b. Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, bank wajib:
1) Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah.
2) Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah.
3) Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah.
4) Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. Terkait dengan kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah, maka:
1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai identitas calon nasabah, maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank, informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah dan identitas pihak lain dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Identitas calon nasabah tersebut harus dibuktikan dengan dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib meneliti kebenaran dokumen-dokumen pendukung tersebut.
2) Bagi bank yang telah menggunakan media elektronis dalam pelayanan jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening.
d. Dalam hal calon nasabah bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, bank wajib memperoleh dokumen-dokumen pendukung identitas dan hubungan hukum, penugasan serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain. Dalam hal bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial owner, bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah.e. Bank wajib menatausahakan dokumen-dokumen pendukung nasabah dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Bank juga wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen pendukung tersebut.
f. Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank.
g. Bank wajib memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki, aktivasi transaksi normal dan tujuan pembukaan rekening.
h. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang sekurang-kurangnya mencakup:
1) Pengawasan oleh pengurus bank (management oversight).
2) Pendelegasian wewenang.
3) Pemisahan tugas.
4) Sistem pengawasan intern termasuk audit intern.
5) Program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
i. Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah/KYC dan Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dimana penilaian tersebut dilakukan secara kualitatif atas faktor-faktor manajemen risiko penerapan KYC.
6. Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Transparansi Produk Bank
Regulasi lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan upaya meminimalisir internet fraud adalah regulasi mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK), mengingat APMK merupakan alat atau media yang sering digunakan dalam kejahatan internet fraud. Ketentuan mengenai penyelenggaraan APMK terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a). Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) adalah alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu prabayar dan atau yang dipersamakan dengan hal tersebut.
b). Bagi bank dan lembaga bukan bank yang merupakan penyelenggara APMK harus menyerahkan bukti penerapan manajemen risiko.
c). Penerbit APMK wajib meningkatkan keamanan APMK untuk meminimalkan tingkat kejahatan terkait dengan APMK dan sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap APMK.
d). Peningkatan keamanan tersebut dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi APMK termasuk penggunaan chip pada kartu kredit. Selain itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan regulasi mengenai transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah, sebagai upaya untuk mengedukasi nasabah terhadap produk bank dan meningkatkan kewaspadaan nasabah terhadap berbagai risiko termasuk internet fraud. Ketentuan tersebut terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang Transparansi Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok pengaturan dalam ketentuan tersebut antara lain sbb:
a). Bank wajib menerapkan transparansi informasi mengenai Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
b). Bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct).
c). Informasi Produk Bank tersebut, minimal meliputi: nama produk, jenis produk, manfaat dan resiko produk, persyaratan dan tatacara penggunaan produk, biaya-biaya yang melekat pada produk, perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan, jangka waktu berlakunya Produk Bank, penerbitan (issuer/originator) Produk Bank.
d). Bank wajib memberikan informasi kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko pada setiap produk bank, dimana bank harus menjelaskan secara terinci setiap manfaat yang diperoleh nasabah dari suatu produk bank dan potensi risiko yang dihadapi oleh nasabah dalam masa penggunaan produk bank.
C. Rahasia Bank
Salah satu hal penting dalam memproses pelaku internet fraud adalah pembukaan rahasia bank untuk memperoleh keterangan simpanan milik pelaku internet fraud tersebut, dimana keterangan tersebut dapat dijadikan salah bukti oleh aparat penegak hukum untuk keperluan persidangan pidana.
Ketentuan mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya setiap Bank dan afiliasinya wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Rahasia Bank). Sedangkan keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.
Terhadap Rahasia Bank dapat disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana dimana status nasabah penyimpan yang akan dibuka rahasia bank harus tersangka atau terdakwa. Terhadap Rahasia Bank dapat juga disimpangi tanpa izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar informasi antar bank, atas permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah.
Dalam hal diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia Bank, dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
Namun demikian untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia Bank, tetap berlaku ketentuan mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia.
D. Urgensi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung hukum setingkat undang-undang yang khusus mengatur tentang kegiatan di dunia maya hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam hal terjadi tindak pidana kejahatan di dunia maya, untuk penegakan hukumnya masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai pemalsuan surat (Pasal 263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal 372), penipuan (Pasal 378), penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang tentang Merek.
Ketentuan-ketentuan tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir kejahatan-kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang modus operandinya terus berkembang. Selain itu dalam penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala antara lain dalam hal pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dan ancaman sanksi yang terdapat dalam KUHP tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh korban, misalnya pada kasus internet fraud, salah satu pasal yang dapat digunakan adalah Pasal 378 KUHP (penipuan) yang ancaman hukumannya maksimum 4 (empat) tahun penjara sedangkan kerugian yang mungkin diderita dapat mencapai miliaran rupiah.
Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes serta dapat memberikan deterrent effect kepada para pelaku cybercrimes sehingga akan berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain itu hal yang penting lainnya adalah pemahaman yang sama dalam memandang cybercrimes dari aparat penegak hukum termasuk di dalamnya law enforcement.
Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dan RUU Transfer Dana saat ini telah diajukan oleh pemerintah dan sedang dilakukan pembahasan di DPR RI, dimana dalam hal ini Bank Indonesia terlibat sebagai narasumber khususnya untuk materi yang terkait dengan informasi dan transaksi keuangan.
sumber: